Chapter 3: Black Forest

Chapter 3: Black Forest


Pelajaran olahraga adalah sesuatu banget, yah pasti ada pemanasan trus kringet langsung deh bau kecut semerbak kemana-mana. Hari yang panas saat itu menyinari kam...ralat lebih tepatnya menggosongkan kami semua, anak-anak SMA kelas 1, 2 dan 3. Kita biasannya dikumpulkan dilapangan untuk melakukan pemanasan. Waktu itu gue masih duduk di kelas 2 (kelas VIII) jadi punya adik kelas dan kakak kelas. Heran juga lihat adek atau kakak kelas kok cakep-cakep ceweknya tapi di kelas gue... ahhh sudahlah.

Saat persiapan olahraga di mulai anak-anak biasanya udah pada punya persiapan. Ada yang udah bawa minum, bawa handuk dan bawa celana olahraga (ya iya lah). Temen gue ada yang saking semangatnya bawa handuk gede banget buat mandi ampe dibawa-bawa. Skalian aja bawa shampo sabun trus gayung, langsung deh goyang-gayung serr!

Karakter pemeran penting (halah) yang akan main dalam episode kali ini adalah:


1. Adrie (gue sendiri), karakter: cool, maco, maskulin hahaha ngaco nih.


2. Selanjutnya ada Fafe, karakter: Kayak bocah di bawah umur, suka nangis dan masih labil.


3. Kemudian Babaz, karakter: Suka kentut dan ngupil sembarangan.


4. Yang terakhir Vion, karakter: Arogan dan superr mesum.

Setelah persiapan dan pemanasan selesai, guru kami yang bernama Didok memberikan tugas buat kami untuk mengelilingi kampung dengan berlari (terbang nggak di anjurkan). ’Priiiiit…’ bunyi peluit panjang telah di bunyikan. ”Langsung lari!” kata Pak Didok. Murid-murid langsung berlari girang dan kayang.

Beberapa temen gue seperti Patrik, Aze, dan Devid sudah berlari tancap gas pol. Nah gue yang waktu itu juga males karena capek kejar tayang langsung aja di pengaruhi bisikan mesum Vion. ”Eh coy mending kita nyidat.” kata Vion kepada gue, Fafe, dan Babaz.

Nah yang belum pada ngerti kata nyidat, itu adalah bahasa Jawa artinya lewat jalan pintas yang lebih deket, kalau lebih jauh namaya be*o. Waktu itu ada kakak kelas yang gendut (bukan ngejek tapi fakta) jadi kita harus menunggu dia didepan kita agar nyidat kita sukses. Nah tapi nunggu dia lari didepan kita memang agak lama soalnya jalan dia kaya kura-kura keselek cendol.

Sebenernya nyidat nggak begitu disarankan, karena guru kami Pak Didok keliling pakai motor mengawasi para pelari. Cuma kalau nggak nyidat pasti juga capek banget karena jarak tempuh larinya lumayan jauh. Kalau ketahuan nyidat ya pasti udah dihukum dan hukumannya bisa bikin tambah capek sampai KO.

Setelah merasa agak nyaman kita berempat langsung cari jalan pintas. Kebetulan jalan itu ditunjunkkan oleh Fafe yang katanya tahu letak jalan sesat tersebut. Perasaan gue nggak enak sebenernya. Kami bertiga langsung membungkuk mengikuti Fafe dengan tampang innocent. Setelah cukup jauh mengelilingi taman bunga, jalan kita terhalang oleh rumah. Fafe langsung memberanikan diri menyapa kepada pemilik rumah tersebut yang mungkin ada di dalam rumah tersebut.

”Permisi,” sapa Fafe kalem.

Setelah beberapa saat ada pemilik rumah itu muncul.

“ada apa mas?” tanya dia datar.

“Jalan kearah SMA 1 mana ya mas?” tanya Fafe polos.

“Waduh la disini ngga ada jalan mass, buntu.” jawab pemilik rumah itu.

”Be*o, Fafe payah!” serentak berteriak.

Alhasil kita harus balik untuk lari lagi dan jarak dengan si gendut pun malah makin jauh. Bahkan adik kelas cewek lelet yang dapet julukan kepala balon sudah ada di depan kita berempat. Njiirrr. Sebenernya kita juga nggak ngincar jadi yang pertama juga sih, penting nggak lari jauh aja biasa anak muda tenagannya banyak dipakai nggak buat lari aja, buat SMS juga alias olahraga jari haha (nggak nyambung).

Kita langung berlari kecil-kecil berharap nggak tertinggal begitu jauh.

”Teman kita harus cari jalan pintas yang baru.” kata Vion.

“Ntar buntu lagi?” tanya Babaz ragu.

“Nggak bakalan lagi deh, tenang aja! Woles!” balas Vion.

Akhirnya kita langsung menggunakan plan B, yakni cari jalan pintas baru. Beberapa menit kemudian kita lewat jalan pintas itu, sampai pada suatu kampung. Ada penduduk di sana dan salah satu dari kami memberanikan diri untuk bertanya. “Pak jalan kearah SMA1 ke mana ya?” tanya Vion. “Kesana lewat kebun lurus terus” jawab Bapak itu dengan nada kalem. Kita berempat langsung menuju ke tempat yang di tunjukkan oleh Bapak tadi. Dan tiba-tiba sampailah kita pada kebun gelap nan mengerikan yang kita sebut saja ‘Black Forest’.

”Udah sampai dimana nih?” tanya Babaz.

”Nggak tau juga bro, sepertinya kita kesasar” jawab gue sembari melihat sekitar.

Kebun itu sangat gelap hingga cahaya matahari sulit untuk masuk. Kami masih mengagumi kebun yang lebih mirip hutan belantara itu. Banyak pohon tinggi di kebun nan gelap itu. Detak jantung kita berpacu dalam melodi.

Rasa kawatir tersesat atau ketauan Pak Didok yang patrol dengan wajah pahit. Kalau sampai ketauan nyidat habis sudah. Dan hukuman untuk yang ketahuan nyidat sangat mengerikan! Membayangkan Pak Didok yang giginya jarang-jarang meringis bawa cambuk sambil joget Gangnam Style menghajar kita.

Sekejap menghela nafas. Hutan itu sungguh sunyi gelap dan mencekam. Sinar matahari nggak terlihat karena lebatnya pepohonan dan semak belukar. Kita berjalan pelan-pelan menyusuri hutan itu dengan sedikit keraguan akankah kita nyasar lagi atau nggak.

“On serius lu tau jalan lewat sini?” tanya gue pelan sambil tengok-tengok.

“Entah gue juga belum pernah lewat sini kayaknya.” jawab Vion

“Njiiir.” jawab Fafe agak keringatan.

Tiba-tiba pandangan Vion tertuju sesuatu. Yang jelas nggak mungkin Vion liat cewek di hutan kalau ada paling kakinya juga belum tentu napak tanah. Tapi wajah cabul Vion bener-bener muncul kala itu. ”Heh teman-teman, itu apa ya?” tanya Vion. Fafe yang paling penakut diantara kami mulai panik. Wajah Fafe kayak bayi tabung kurang oksigen.

”Itu ular!” perjelas Vion. Ular itu ada di atas kita di pepohonan yang rindang dan gelap. Dan tiba-tiba ada suara ‘tepok’. Ular itu jatuh tepat di samping kami. JEGER. Semua berteriak, “LARII!”

Kita langsung saja jalan tanpa tau tujuan dan arah yang ada rasa ingin mengejar matahari (waduh). Saat sampai pada jalan turunan yang sempit entah kenapa Fafe yang berada di depan naik-turun menghalangi jalan kami kayak monyet lepas. Fafe panik tingkat akut.

Kami melewati persawahan yang sedang menanam beberapa sayur-mayur. Ada tomat, cabai-cabaian hingga terong-terongan. Keadaan berubah total dari yang semula gelap menjadi panas dan membakar kulit kami. Kami nggak menyangka juga ide nyidat ini akan menjadi petualangan kamvret seperti ini.

“Woe teman ada tomat nih!” kata Fafe girang.

“Yaelah sempet-sempetnya lu mau makan tomat!” kata gue yang sebenerya juga pengen makan tu tomat saking lapernya.

“SSSttt jangan berisik!” teriak Vion yang malah jadi menambah keberisikan kami sebenernya.

“Nah itu dia kepala balon!” teriak Vion. Terlihat adik kelas kita sedang lari dari kejauhan. Ternyata kita yang dari tadi santai merasa agak lega setelah melihat ada yang masih lari dan belum sampai garis finish.

“Mending kita lepas baju biar nggak ketahuan Pak Didok.” kata Babaz. Akhirnya dengan telanjang dada dan bagai tentara di medan perang, kami lari maju membungkuk di semak-semak. Waktu itu gue merasa seperti narapidana yang habis kabur dari penjara. Takut juga kalau kita dikira maling jemuran pakaian dalam.

Kita langsung merencanakan meluncur kerute teman-teman yang lain (rute yang nggak sesat). ”Biar gue yang memberi aba-aba.” kata gue ke temen-temen semprul. Setelah gue memastikan aman akhirnya kami memakai baju kami lagi dan membaur ke barisan.

Tiba-tiba terdengar suara, “Hei curang!” kami panik. Terdengar suara yang memang bukan suara Pak Didok maupun suara lelaki, tapi kalau disekitar situ ada Pak Didok tamat sudah. Kami memberanikan diri melihat arah sumber suara tersebut.

Ternyata itu suara Vinda dan Dian. “Nyidat nggak ngajak-ngajak!” kata Vinda.

”Sorry kapan-kapan lagi ye.” kata gue kepada mereka berdua. Dan ternyata Pak Didok nggak melihat atraksi kita yang nyidat waktu itu. Untung sekali kita nggak ketahuan. Senyum puas menghiasi jiwa muda kami saat itu. Sebagai catatan tolong kenakalan remaja kita waktu itu jangan dicontoh ya, jadilah pembaca yang baik walau penulisnya semprul.

Nb. Kabarnya Patrik berhasil sampai pada urutan ke dua dan setelah jackpot di sekolah karena terlalu memaksakan diri, esoknya dia tepar dan nggak masuk kelas. Good job Pat tapi jangan lagi deh sampai memaksakan diri!


3 Komentar untuk "Chapter 3: Black Forest"

  1. Hahahahhahaha mrrrrr kok enggak ada komentar sepi ya mr hahahahhahahahaa trsssss menurutr ada yang liat enggak ya hahahahhahahahahahahahahahahahahahahahha bye bye semoga ada yang baca :D 😈😆😂

    BalasHapus
  2. Wahaha iya nih, menurut data statistik blog sih ada yang buka tapi nggak tau ada yang baca atau nggak hehe, cuman kalau yang penasaran sama buku MR Adrie yang mau terbit mungkin baca kok. Owh iya tunggu buku terbit ya mungkin minggu depan, trims :)

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel